Aku berjalan mencari kejujuran
Tak tahu aku di mana alamatnya
Aku pergi mencari kesederhanaan
Tak tahu aku di mana sembunyinya
Aku bertanya di mana tanggung jawab
Di laut manakah tenggelamnya?
Di laut manakah tenggelamnya?
Aku berjalan mencari ketekunan
Di rimba manakah dia menghilangnya?
Aku berjalan mencari keikhlasan Rasanya sih ada, tapi di mana, ya?
Di rimba manakah dia menghilangnya?
Aku berjalan mencari keikhlasan Rasanya sih ada, tapi di mana, ya?
Aku berjalan mencari kedamaian
Di langit manakah dia melayangnya?
Wahai kejujuran dan kesederhanaan Wahai tanggung jawab dan ketekunan
Wahai keikhlasan dan kedamaian
Di mana gerangan kini kalian?
Zaman ini sangat merindukan kalian zaman ini sangat merindukan kalian.
Di langit manakah dia melayangnya?
Wahai kejujuran dan kesederhanaan Wahai tanggung jawab dan ketekunan
Wahai keikhlasan dan kedamaian
Di mana gerangan kini kalian?
Zaman ini sangat merindukan kalian zaman ini sangat merindukan kalian.
Perang Ini Harus Kita
Menangkan
Masih adakah orang jujur di negeri kita? Adakah?
Masih ada. Tapi mereka tak bersuara.
Masih ada. Tapi mereka tak bersuara.
Masih adakah orang waras di negeri kita? Adakah?
Masih ada. Tapi mereka tiada berdaya
Masih adakah orang berakhlak di negeri kita? Adakah?
Masih ada. Tapi mereka tak berwibawa
Masih adakah orang ikhlas di negeri kita? Adakah?
Masih ada. Tapi mereka dianggap tiada.
Tapi saudaraku, tak ada cerita putus asa Kita tak akan angkat tangan menyerah kalah
Karena ibarat perang Perang ini harus kita menangkan. Harus kita menangkan.
Masih ada. Tapi mereka tiada berdaya
Masih adakah orang berakhlak di negeri kita? Adakah?
Masih ada. Tapi mereka tak berwibawa
Masih adakah orang ikhlas di negeri kita? Adakah?
Masih ada. Tapi mereka dianggap tiada.
Tapi saudaraku, tak ada cerita putus asa Kita tak akan angkat tangan menyerah kalah
Karena ibarat perang Perang ini harus kita menangkan. Harus kita menangkan.
Taufiq Ismail lahir dari pasangan
A. Gaffar Ismail (1911-1998) asal Banuhampu, Agam dan Sitti Nur
Muhammad Nur (1914-1982) asal Pandai Sikek, Tanah Datar, Sumatera
Barat. Ayahnya adalah seorang ulama dan pendiri PERMI. Ia menghabiskan
masa SD di Solo, Semarang, dan Yogyakarta, SMP di Bukittinggi,
dan SMA di Pekalongan. Taufiq tumbuh dalam
keluargaguru dan wartawan yang suka membaca. Ia telah
bercita-cita menjadi sastrawan sejak masih SMA. Dengan pilihan sendiri, ia
menjadi dokter hewandan ahli peternakan karena ingin memiliki bisnis
peternakan guna menafkahi cita-cita kesusastraannya. Ia tamat
FKHP-UI Bogor pada 1963 tetapi gagal punya usaha ternak
yang dulu direncanakannya di sebuah pulau di Selat Malaka.
Taufiq sering membaca puisi di depan umum. Di luar negeri, ia
telah baca puisi di berbagai festival dan acara sastra di 24 kota Asia, Australia, Amerika, Eropa,
dan Afrika sejak 1970. Baginya, puisi baru ‘memperoleh tubuh
yang lengkap’ jika setelah ditulis, dibaca di depan orang. Pada
April 1993 ia membaca puisi tentang Syekh Yusuf dan Tuan Guru, para
pejuang yang dibuang VOC ke Afrika
Selatan tiga abad sebelumnya, di 3 tempat di Cape
Town (1993), saat apartheid baru dibongkar. Pada
Agustus 1994 membaca puisi tentang Laksamana Cheng Ho di
masjid kampung kelahiran penjelajah samudra legendaris itu
di Yunan, Tiongkok, yang dibacakan juga terjemahan Mandarinnya oleh
Chan Maw Yoh.
Mendapat Anugerah Seni dari Pemerintah (1970), Cultural
Visit Award dari Pemerintah Australia (1977), South East Asia
Write Award dari Kerajaan Thailand (1994), Penulisan Karya Sastra dari
Pusat Bahasa (1994). Dua kali ia menjadi penyair tamu di Universitas
Iowa, Amerika Serikat (1971-1972 dan 1991-1992), lalu pengarang
tamu di Dewan Bahasa dan Pustaka,Kuala Lumpur (1993).
Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Taufiq_Ismail
Baca juga:
- Kamilah
- Mendewakan Pikiran Bertarung dengan Tuhan
- Menulis di Otak: Generalisasi Tergesa-Gesa
- Magnet Menulis
- Susah, Menulislah
- Jenuh Setelah Menulis? Ke Sini Yuk!
- DAYAK, DAYAK, DI MANAKAH KAMU?
loading...