oleh Ersis
Warmansyah Abbas
TEORITIKUS. Pertanyaan paling sering dikemukakan pada berbagai kesempatan, apalagi setelah buku Menulis Sangat Mudah beredar secara nasional: “Apa yang Bapak tulis sudah dibaca. Saya paham. Termotivasi. Tapi, susah memulai menulis. Bagaimana ini Pak?” Pertanyaan model begitu, saking banyaknya, susah juga menjawabnya he he.
TEORITIKUS. Pertanyaan paling sering dikemukakan pada berbagai kesempatan, apalagi setelah buku Menulis Sangat Mudah beredar secara nasional: “Apa yang Bapak tulis sudah dibaca. Saya paham. Termotivasi. Tapi, susah memulai menulis. Bagaimana ini Pak?” Pertanyaan model begitu, saking banyaknya, susah juga menjawabnya he he.
Susah dalam arti sukar, tidak
mudah tentu bukan pada tataran memahami, tetapi melakukan. Dalam melakukan
sesuatu, kita berurusan dengan diri sendiri. Tidak seorang pun mampu
mengatasinya kecuali diri sendiri.
Sudah sering ditulis,
pengetahuan, teori, diskusi atau apalah namanya, baru pada tahap ‘angan-angan’.
Sesuatu yang berbeda dengan menulis, melakukan. Para teoritikus (menulis)
sangat piawai membahas perihal menulis dari a sampai z, tetapi belum tentu
menulisnya. Aktivitas menulis ditandai dengan adanya tulisan.
Sebaliknya, mereka yang melakukan
menulis, sesedikit apa pun pengetahuan teoritisnya, belajar dari melakukan,
dari pengalaman, bisa jadi lebih produktif. Contoh konkret dalam bandingannya,
secara teori, dalam analisis, apa saja persoalan ekonomi bangsa ini bisa
diatasi oleh pakar-pakar ekonomi. Mereka belajar pada perguruan tinggi terbaik,
di dalam dan luar negeri. ‘Mengendalikan’ ekonomi bangsa telah dilakukan.
Hasilnya? Semut pun tahu. Sekali lagi, antara teori dan melakukan (menulis) dua
hal berbeda.
Menulis
Melakukan
Dalam bahasa provokatifnya,
belajar menulis sampai ke akhirat sekalipun, kalau tidak melakukan menulisnya,
ya tidak akan ada tulisan. Tepatnya, praktik penting dan mendasar. Kenapa
Andrea Hirata mampu menulis tetralogi novel yang menghentak? Karena melakukan.
Kalau dia tidak bohong, menurutnya dia bukan pelajar sastra, atau mengaku-ngaku
sastrawan. Tapi, sekali lagi, menulis sastra.
Andrea Hirata hebat pastilah itu.
Coba perhatikan, banyak orang menulis tentang ini-itu perihal Hirata. Ada yang
memperkirakan pendapatan Hirata. Salah? Tentu tidak. Paling-paling
ditertawakan. Membanggakan penulis Laskar Pelangi tersebut dan dengan demikian
seolah-olah sehebatnya. Kalau ditanya: Karya Sampeyan mana? Tahu rasa dia.
Mengagumi penulis hebat itu
sehat. Yang ‘penyakitan’ adalah seolah-olah bak Hirata ketika menulis
tentangnya. Saya anjurkan, bangun kemampuan menulis dengan melakukan, melatih
diri, yang mana tahu nantinya bisa lebih hebat dari penulis-penulis hebat saat
ini. Jangan membangun sukses dalam angan-angan. Jangan menumpang kesuksesan
orang.
Kalau sadar memulai menulis
susah, atasi dengan melakukan. Jangan disusah-susahkan. Susah kok dipelihara
dan dibanggakan. Bagaimana caranya? Mudah saja Bro. Tulis tentang kesusahan
tersebut, susahnya memulai menulis. Misal, ketika memulai kepala gatal-gatal,
digaruk, dan entah kenapa, bawaannya kencing melulu. Buku rujukan dicari-cari
tidak bertemu. Lupa. Menulis jadi susah, susah dan menyusahkan. Hadapi
kesusahan tersebut. Kalau takut dihantam peluru pegang senjatanya.
Langsung
Tulis
Berikut resep membunuh susah dan
kesusahan menulis.
Pertama, pelajari mengapa susah
(memulai) menulis dan tulislah tentang susahnya memulai menulis. Pasti menjadi
tulisan. Jangan didiskusikan atau dikeluhkan. Tulis, tulis, dan tulis tentang
susahnya menulis. Ibaratnya, agar kepala tidak gatal-gatal, mandi dululah.
Sampo sampai bersih. Kalau kepala bersih tidak mungkin gatal-gatal. Kalau
melakukan mana mungkin malas bergayut.
Kedua, susah dan kesusahan dalam
menulis bisa jadi karena kebiasaan. Kebiasaan mengeluh dan berteori yang
berkarat dikikis dengan melakukan. Alasan khas mereka yang berkehendak tetapi
tidak terwujud. Untuk pembenaran dicari-cari alasan.
Ketiga, mencampakkan alasan. Buat
apa membela, mengembangbiakkan saraf alasan. Mereka yang terbiasa beralasan,
berkilah, karena tidak membangun kemampuan menulis dengan melakukan. Menulisnya
malas lalu dicari kambing yang hitam. Aya aya wae.
Keempat, kembali ke awal tulisan,
susah menulis urusan pribadi, tersebab kemampuan, dikendalikan pikiran kurang
cerdas. Cerdaskan. Lawan dengan menulis. Tulis, tulis, dan tulis. Habis
perkara. Lakukan.
Jangankan dalam menulis, kalau
susah atau kesusahan dalam kehidupan, tulis. Minimal melakukan katarsis, jiwa
plong. Susahnya berkurang. Susahnya menulis saja bisa ditulis, apalagi yang
mudah he he.
Bagaimana menurut Sampeyan?
loading...