Dr. Esti Ismawati, M.Pd.
Dosen Pengajaran Sastra Universitas
Widya Dharma Klaten.
Penyair Rahadi Zakaria lahir di
Purworejo, 1953. Wafat di Semarang, 2014. Tak ada yang menyangka jika pidatonya
di rumah budaya Tembi Yogyakarta 11 Agustus 2014 itu adalah kata pamitnya yang
terakhir. Dan sebelum itu masih tampak sehat wal afiat. Rahasia Allah. Saya
akan mengulas karya-karya yang tertulis di dalam lima buku Antologi Puisi
terbitan Kosa Kata Kita Jakarta yang memuat puisi-puisinya. Sebagaimana pepatah
mengatakan, gajah mati meninggalkan gading, Penyair (pun) mati meninggalkan
puisi. Dan puisi-puisi inilah yang merebut hati dan mata saya hingga berurai,
mengenang sesosok bersahaja, yang ternyata pemikiran dan kiprahnya luar biasa.
Rahadi Zakaria, mula-mula adalah
seorang wartawan, kemudian nasib membawanya menjadi anggota DPRD Propinsi Jawa Barat
selama dua periode dan anggota DPR RI selama satu periode. Sudah pasti,
kepekaan sosialnya sangat terasah ketika ia menjadi wakil rakyat yang
sungguh-sungguh menjalankan amanat penderitaan rakyat. Apa yang ditemukan dan
dirasakannya ketika berada di tengah rakyatnya itu terefleksi dalam
puisi-puisinya.
Rahadi Zakaria. Sesosok pribadi yang
suka prihatin. Dalam judul tulisan di atas saya tulis “Sang Karto Legotjo”,
personifikasi dirinya, memang cerminan insan yang memiliki kepedulian sosial
yang tinggi. Sang Karto Legotjo ini tokoh yang suka blusukan, membaur dengan
lapisan bawah yang serba kekurangan, yang selalu terpinggirkan, yang belum
beruntung dalam menikmati kehidupan dunia, yang miskin harta dan miskin jiwa,
yang bodoh dan mudah dikibuli, dan seterusnya. Sosok Karto Legotjo (perhatikan
cara penulisan namanya yang masih menggunakan ejaan lama dimana huruf C dulu
ditulis dengan tj, simbol dari ‘wong kuno, wong ndeso’) adalah manusia langka.
Ia mestinya bisa hidup mewah, menikmati kebahagiaan dunia, namun ia tak
mengambil bagian ini. Ia memiliki kepekaan rasa sosial yang luar biasa. Sangat
ingin ia menjelma seperti burung yang terbang di antara gumpalan awan putih
tanpa rasa kesepian, namun ada yang menggapai perasaannya, yakni saudara di
kolong jembatan yang senantiasa kelaparan. Bacalah sajaknya di bawah ini :
BURUNG-BURUNG DAN SEPOTONG LAPAR
rasanya karto legotjo
ingin menjelma seperti burung-burung
terbang di antara gumpalan awan putih
tanpa mata pedang yang kesepian di
antara belukar
dan hutan-hutan yang rebah
tanpa senapan para pemburu yang sarat
dengan butir-butir peluru
masih bersarung kain kumuh dan bau
penguk
di lorong-lorong becek
di kota yang mulai tua
ada yang menggapai perasaannya
saudara
kolong jembatan dan sepotong lapar
adalah hari-harimu
Jakarta, Desember 2011.
(Sumber : Antologi Puisi Bangga Aku
Jadi Rakyat Indonesia, KKK Jakarta, 2012 : 244)
Dalam puisi lain berjudul ‘Karto
Legotjo suatu malam’ yang lebih mengenaskan, ia bahkan digambarkan sangat
miskin. Demikian miskinnya sehingga ia merebus batu (kisah ini diilhami oleh
situasi pemerintahan Khalifah Umar bin Chotob RA, yang kala itu Umar sendiri
yang mengantar gandum kepada sebuah keluarga yang sangat miskin, yang karena
miskinnya itu si ibu merebus batu pada suatu malam, dan membujuk anak-anaknya
untuk tidur dulu, dan akan dibangunkan jika masakan si ibu sudah matang. Sudah
tentu masakan itutak akan pernah matang, sampai terdengar oleh Umar yang
kebetulan lewat, karena hari telah larut dan si ibu masih terus menyalakan
tungku untuk mengelabuhi anak-anaknya. Dan ketika ditanya Umar, apa gerangan
yang dimasaknya sehingga sampai larut belum matang juga. Si ibu berkata bahwa
ia sedang memasak batu, dan hal ini karena kepemimpinan Umar yang tidak mampu
mensejahterakan rakyatnya. Si ibu itu tidak tahu bahwa yang sedang bertanya itu
adalah Umar yang sedang blusukan) ‘rasanya ia ingin merebus batu’. Sebuah ironi
yang sangat tajam ketika disandingkan dengan frasa ‘di tengah cahaya bulan yang
singgah di taman-taman bunga’, sebuah ironi dari kondisi kemiskinan di tengah
negara yang katanya subur makmur, gemah ripah lohjinawi, sebagaimana tergambar
dalam puisi di bawah ini :
KARTO LEGOTJO, SUATU MALAM
karto legotjo, suatu malam
rasanya ia ingin merebus batu
di tengah cahaya bulan
yang singgah di taman-taman bunga
sawah mengering di hatinya
bersama burung-burung malam
tak sampai memagut bulan
Kulon Progo, 2010
(Sumber : Senandoeng Radja Ketjil,
KKK Jakarta, 2010 : 187).
Masih tentang sang Karto Legotjo,
puisi berjudul ‘Khabar dari Seberang Lautan’ di bawah ini juga mendedahkan
situasi yang mengenaskan di suatu subuh ketika sebuah TV buram (mungkin
satu-satunya harta yang dimiliki sang Karto Legotjo) mengabarkan tentang orang-orang
yang merintih tertembak dan luka kena bacok. Memang ketika itu dikenal istilah
‘petrus’ (penembakan misterius) yang digambarkan sangat mengerikan bagai
‘padang kuru setra’ (tempat berperangnya Pandawa dan Astina) dimana sesama
saudara (Pandawa dan Astina dalam dunia wayang bertempur habis-habisan di sini,
padahal mereka tunggal darah, sesama darah Kuru) tidak bisa saling memaafkan.
Nafsu untuk saling meniadakan, saling membunuh begitu besar, sehingga ratap
tangis seorang Ibu seperti Dewi Kunthinalibrata sama sekali tidak dihiraukan.
Di sisi lain perang ini merupakan cara alam untuk menyeleksi, memilih yang
terbaik yang mampu terus bertahan di tatanan kehidupan berikutnya, yang hanya
akan menyisihkan orang-orang yang baik (dengan laku utama semacam Pandhawa).
Sebagai priyayi Jawa, sudah tentu
Rahadi Zakaria sangat memahami filosofi hidup manusia Jawa yang bersumber dari
wayang sehingga puisi-puisinya penuh dengan ungkapan-ungkapan khas khas dunia
pewayangan sebagaimana tampak pada puisi di bawah ini :
KHABAR DARI SEBERANG LAUTAN
tiba-tiba karto legotjo
merasa berdarah-darah
perut, dada dan pantat
di subuh gelap
saat televisi buram mengabarkan
dari seberang lautan
orang-orang merintih tertembak
luka kena bacok
tertatih-tatih
bagai di padang kuru setra
sesama saudara
tidak bisa saling memaafkan.
Jakarta, Desember 2011.
(Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia,
KKK Jakarta, 2012 : 245).
Di samping filosofi dari dunia
wayang, puisi-puisi karya Rahadi Zakaria juga banyak diilhami oleh filosofi
hidup manusia Jawa sebagaimana tampak pada puisi di bawah ini. Ungkapansedumuk
bathuk sanyari bumi direwangi pecahing dada wutahing ludira merupakan filosofi
hidup khas manusia Jawa. Artinya, demi kehormatan isteri (sedumuk bathuk,
kata bathuk di sini merujuk pada sosok perempuan belahan jiwanya) dan demi
kehormatan tanah tumpah darah (senyari bumi) seorang lelaki
Jawa rela menumpahkan darahnya, mengorbankan jiwanya untuk membela keduanya.
(Namun seiring dengan perubahan zaman banyak nilai-nilai yang berubah. Pun
nilai-nilai budaya Jawa. Lelaki Jawa sekarang banyak yang menelantarkan
isterinya, membolehkan isterinya bekerja sebagai TKW di luar negeri sementara
dirinya enak-enak di Tanah Air; sebuah ironi juga).
TANAH SEJENGKAL HARAPAN
sedumuk bathuk sanyari bumi
direwangi pecahing dada wutahing
ludira
tanah kekasih dan sahabat
pertanda sebuah kesetiaan
di tengah derap sepatu lars dan asap
mesiu
kisah tak berkesudahan
seperti dewata cengkar marah dan
menggebrak tanah
kepada aji saka
ketika digiring di gigir pantai laut
curam
hanya dengan selembar kain putih
dan terjungkal
sorot sepasang matanya
tanda dendam kesumat
sedumuk bathuk sanyari bumi
direwangi pecahing dada wutahing
ludira
sudut-sudut hutan, rawa dan tanah
gersang
bayang-bayangmu
melampiaskan dendam
mampuslah kau ajisaka
mau apa ?
karto legotjo diam dan termangu
di antara gubuk reot dan tanah
gersang
selembar kain putih
hanya sebuah impian
Jakarta, Desember 2011
(Sumber : Bangga Aku Jadi Rakyat
Indonesia, KKK Jakarta, 2012 : 243)
Dalam puisi di atas sedumuk bathuk
sanyari bumi direwangi pecahing dada wutahing ludiraini disandingkan
dengan kisah Ajisaka (tokoh bijak pembela rakyat, penetang kezaliman) atau
kisah Dewata cengkar (penguasa tamak penindas rakyat) yang kisahnya terefleksi
dalam makna dari 20 huruf Jawa (hana caraka, data sawala, pada jayanya, mangga
bathanga). Kurang lebih artinya sebagai berikut : ada dua orang berperang, sama-sama
hebatnya, keduanya mati bersama. Menyaksikan situasi yang demikian ini sang
Karto Legotjo hanya lenger-lenger, diam dan termangu di antara gubuk reot di
tanah gersang. Selembar kain putih hanya sebuah impian.
Masih banyak puisi-puisi Rahadi
Zakaria yang berisi satire tentang situasi kehidupan di ibu kota sebagaimana
tampak dalam puisi-puisi berikut ini :
RUMAH-RUMAH BERATAP KARDUS
rumah-rumah beratap kardus
tanpa halaman, dapur dan kamar tidur
sekaligus tempat anak-anak bermain
petak umpet
di sela deru kereta api, bau comberan
dan gombal tengik
bagi mereka sedap-sedap saja
karena tak pernah mencium semerbaknya
parfum para koruptor
Jakarta, Desember 2009.
(Sumber : Kitab Radja – Ratoe Alit,
KKK Jakarta, 2011 : 377)
PEKUBURAN PONDOK RANGON
bunga plastik
di atas kuburan
seakan meraba
dan menohok perasaan
Jakarta, November 2010.
(Sumber : Kitab Radja – Ratoe Alit,
KKK Jakarta, 2011 : 378)
Sementara impiannya tentang negerinya
digambarkan kaya raya bertabur susu gemah ripah loj jinawi seperti di bawah
ini, namun kenyataannya rakyat diam-diam masih ‘merebus batu’ seperti yang saya
ulas dalam puisi-puisi Rahadi Zakaria di atas, dan tergambar pula dalam dua
puisi di bawah ini. Ending dari dua puisi di bawah ini selalu berupa
penderitaan yang tiada akhir.
SAJAK TENTANG SEBUAH NEGERI
sebelum berangkat tidur
di malam yang dingin dan sepi
seorang kakek berkisah pada cucunya
tentang sebuah negeri
kaya raya bertabur susu
gemah ripah loh jinawi
gemah ripah repeh rapih
di malam dingin dan sepi
di sela kisah yang menenteramkan
ada yang berbisik
dengarlah
ada perempuan muda
diam-diam merebus batu
demi anak-anaknya
yang meronta
minta susu.
Cimahi, 2014
(Sumber : DNP5 DARI NEGERI LANGIT,
KKK Jakarta, 2014 : 449).
DI SEBUAH KOTA
Mimpi-mimpi yang terbangun tentang
Sebuah kota, adalah keindahan
Ketenteraman, dengan taman-taman
bunga
Tempat orang-orang saling
bercengkerama
Memagut cinta
Tak peduli lagi
Trotoar mulai tua
Lampu remang-remang
Tanpa cahaya
Di sela dinding berlumut
Di gang sempit
Laki-laki setengah baya
Diam-diam mencabut belati
Siapa yang hendak ditikam
Di malam senyap
Tak ada seorang pun berkelebat
Di kota senyap
Kota impian.
Bandung, 2014.
(DNP5 DARI NEGERI LANGIT, KKK, 2014 :
450).
Akhirnya, mengakhiri tulisan ini saya
akan ajak pembaca untuk menikmati suasana yang mengingatkan Rahadi Zakaria pada
masa kecilnya yang bahagia di kampung halamannya namun sekarang telah hilang
(‘mungkin mungkin menggetarkan perasaanmu dan perasaanku, saat itu), namun
semua ini telah hilang ditelan zaman, dan tinggallah hamparan yang sepi dan
dingin. Rahadi Zakaria sekarang mungkin tengah menemukan kembali suasana ini,
semoga.
Bacalah puisi di bawah ini dengan
seksama :
SURAT DARI KAMPUNG HALAMAN
semak-semak tempat kita bermain
perang-perangan dulu kini telah terpapas
sahabatku, janganlah kau bangun
kenangan masa lalu
tentang burung-burung puyuh bercumbu
sambil memagut-magut rumput
tentang jalan berliku, becek, karena
hujan semalam
dan gadis-gadis yang menjerit saat
tergelincir di jalan basah dan licin
tanganmu, tanganku menjulur
bersama-sama
menggapai tangan-tangan mereka sambil
mengerling gaun-gaun yang tersingkap
dan kita tak bisa menebaknya
hati siapa yang bisa tercuri
mungkin menggetarkan perasaanmu dan
perasaanku, saat itu
bagai segenggam kapas teremas
di sudut-sudut kampung halaman
seperti tempat kita main
perang-perangan dulu
terhampar sepi dan dingin
Bandung, 2009 (SRK, 2010 : 189)
Super terakhir, saya ingin mengajak
pembaca untuk meresapi puisi yang ditulis Rahadi Zakaria untuk isterinya di
bawah ini :
SEKERAT KUE ULANG TAHUN
buat istriku kusnita yuniar
sekerat kue ulang tahun
yang baru saja kau potong
apakah ini pertanda rambu-rambu
tanpa peluit
seperti pisau yang masih tergeletak
tak pernah berkedip
Bandung, 2009 (SRK, 2010 : 186)
Ada yang masih tersimpan dalam memori
kita di sini : makna ‘rambu-rambu tanpa peluit’ dan ‘pisau yang masih
tergeletak tak pernah berkedip’. Gerangan apa yang tersimpan dalam memori
Rahadi Zakaria ketika ia menuliskan puisi ini? Wallohualam bi sawab.
Klaten, 22 Januari 2015.
loading...