Karya Shabrina ws
Teluk Wondama! Dua
kata yang diucapkan Satria itu membuatku rela mengambil sebagian
tabunganku. Aku punya cita-cita untuk keliling Indonesia. Karena itu, ketika
Satria mengatakan ingin ke Papua, tanpa pikir panjang aku mengatakan, “Gue ikut,
Sat!” Ya, Meski aku sadar kalau kami mempunyai kepentingan yang berbeda.
Aku, tentu saja ingin menuntaskan rasa penasaranku akan eksotisnya Tanah Papua.
Sementara Satria memang sering pergi ke berbagai daerah untuk melakukan
penelitian.
Setelah menempuh
perjalanan udara dari Jakarta, kami sampai di Bandara Rendani Manokwari.
Perjalanan kemudian dilanjutkan ke Pelabuhan Laut Manokwari.
“Eh kita
nanti disambut dengan alunan musik seruling bambu yang diiringi tambur gitu gak?”
“Hah?!” Satria
mengernyit lucu mendengar pertanyaanku. “Jangan ngelindur ah,
Yo!”
“Yee … kali aja,
itu kan musik khas sini.” Aku mengeluarkan kamera, membidik suasana
pelabuhan.“Mana temanmu itu, Sat? lamabanget.”
“Hai…maaf membuat
menunggu.…”
Belum sempat Satria
menjawab seorang dengan ransel gemuk di punggungnya mendekati kami dengan
sedikit berlari.
“Nah, itu Yosef.”
“Maaf, aku terlambat.” Yosef dan
Satria berangkulan.
“Kenalin, ini adekku.”
“Miyosi.”
“Yosef,” ucapnya sambil tersenyum.
Tidak banyak
percakapan kami, karena kami segera menuju pelabuhan, untuk melanjutkan
perjalanan ke Teluk Wondama.
“Jadi kita naik
kapal apa?” tanya Satria.
“Tadinya aku mau
ngajak kalian naik kapal pengangkut kayu gelondongan atau kapal patroli
Angkatan Laut.”
“Apa?!” Aku menutup
mulut menyadari suaraku yang keras. Naik kapal pengangkut kayu gelondongan? Ya
Tuhan, aku sama sekali tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya.
“Tapi kita naik
kapal Pelni saja.” Lanjutan kalimat Yosef membuatku lega.
“Siap berpetualang,
Nona?” Satria tersenyum padaku.
“Berapa jam
perjalanannya?” tanyaku
“Hampir sepuluh
jam.”
“Apa?!”
“Jangan kaget-kaget
terus, Yo! Dilihatin orang itu lho! Ini belum
apa-apa kok. Kamu memang harus siap mental. Dan sekali-kali
harus mengalami hal seperti ini. Beginilah pelajaran hidup.”
“Huh, mulai deh ceramahnya,” gerutuku lirih.
Satria sudah dua
kali ke Papua. Dia sedang menyusun buku bersama Yosef. Teman yang awalnya
dikenal lewat facebook. Entahlah, kadang aku heran kenapa Satria begitu
mencintai pekerjaannya itu. Pekerjaan yang menurutku sia-sia. Bahkan
kedatangannya yang pertama dulu dia terkena malaria. Tapi, sepertinya dia tidak kapok.
“Sampai kapan lu akan seperti ini, Sat?” tanyaku mengusir
kecewa karena ternyata keberangkatan kapal ditunda. Gagal sudah menikmati
perjalanan senja hari.
“Sampai data-data yang kukumpulkan lengkap, Yo. Kamu tahu tidak, orang dari
LIPI aja yang meneliti punahnya bahasa Yaben butuh waktu empat
tahun.”
“Gue heran deh, kenapa ya orang-orang
seperti kalian mau susah-susah melakukan hal seperti ini. Gue pikir
asal kita menjaga bahasa Indonesia dengan baik dan benar itu sudah cukup. Toh
pada kenyataannya seiring kemajuan zaman, kita justru dituntut untuk bisa
menguasai bahasa asing kan? Inggris, Mandarin, Arab, Perancis. Aku kira …
sangat kecil manfaatnya meneliti bahasa-bahasa daerah yang menurutku hilang pun
tidak akan berpengaruh pada keberlangsungan kehidupan.”
“Kamu akan mengerti
bahwa apa yang kami kerjakan juga bermanfaat buat orang-orang seperti kamu.”
“Hah?! Gue?!”
“Oh, kamu belum
tahu, atau kamu belum belajar hubungan arsitek dengan lingkungan?”
“Hei, Lu
ngeledek gue ya? Meskipun gue mahasiswa baru,
tapigue tahu kok, kalau seiring perkembangan zaman para
arsitek dituntut untuk menghasilkan karya yang ramah lingkungan, green
design. Gue juga tahu kalau sehebat dan sebebas apa pun kita
berkarya, tapi sebaiknya kita tidak meninggalkan budaya lokal. Tapi, kalau
pekerjaan lu neliti bahasa-bahasa aneh ada
hubungannya dengan arsitek, naah, baru gue gak yakin deh.”
“Yo…, Yo…” Satria
terbahak,“ tanya tuh sama Yosef, kenapaWasior
banjir.”
“Kok Wasior?” aku
melihat Satria dan Yosef bergantian. “Emang apa hubungannya?”
“Konon, katanya,
banjir Wasior itu salah satu bukti kalau bahasa itu adalah sebuah pesan dan
isyarat yang seharusnya diperhatikan.”
“Haduuuh, gue
gak ngerti deh.” Aku menggeleng.
“Jadi gini,
orang menamai alam sekitarnya tentu dengan bahasa daerah mereka. Dan nama
itu biasanya tidak sembarangan. Paling tidak ada asal-usulnya atau mengandung
pesan yang akan dikenal secara turun-temurun.”
“Emang ada
hubungannya gitu, antara bahasa daerah dengan Wasior yang banjir?”
“Nah, itu dia, dulu
para penjelajah pertama, yaitu orang-orang Biak, menamai tempat-tempat sesuai
dengan ciri-ciri dari alam. Wasior misalnya, berdasarkan etimologinya berarti tanah
yang masih basah atau belum kering. Jika di sana didirikan bangunan tentu akan
berbahaya.”
Aku
mengangguk-angguk mendengar penjelasan Yosef yang mirip dosen. Satria
senyum-senyum sambil melirikku.
“Namun pada
kenyataannya,” Yosef menyambung kalimatnya, “orang mendirikan bangunan bahkan
membangun kota, dengan tanpa mempelajari dan memahami apa arti kata yang
terkandung dalam wasior. Itulah yang dimaksud bahwa nama adalah pesan dari
nenek moyang untuk para keturunannya. Jika pesan itu tidak diperhatikan,
akibat yang paling besar ya terjadi malapetaka. Seperti banjir bandang itu.”
Aku diam, mencoba
mencerna kata-kata Yosef. Jangan-jangan daerah Porong yang menyemburkan lumpur
itu juga ada pesan dari nama yang tidak dipahami?
“Oh ya, coba
kalian bercakap-cakap dalam bahasa Jawa. Aku ingin sekali mendengarnya.”
“Hah?!” aku
terkejut.
“Ha ha ha…Miyo itu
gak bisa bahasa Jawa, Yos.” Satria tertawa puas.
“Oya? Wah…benar ya,
yang aku baca,” sahut Yosef.
“Baca tentang apaan?”
“Tentang
orang-orang Jawa yang mulai meninggalkan bahasa Jawa.”
“Gue besar
di Jakarta, lingkungan gue pakai bahasa Indonesia. Jadi wajar
kan kalau gue gak bisa bahasa Jawa?” aku membela diri.
“Tapi Satria, bisa
bahasa Jawa, kan?”
“Kalau pulang
kampung, Yo itu bikin malu saja, biasanya di kampung kami semua yang muda
kepada yang tua akan menggunakan bahasa Jawa Krama Inggil, tapi Yo
tidak, dia pakai bahasa Indonesia. Dan orang-orang yang sudah tua hanya
terbengong-bengong saja tidak tahu apa yang dikatakan Yo. Memalukan kan adekku itu?
Masa di kampung dia pakai lu gue, lu gue gitu…ha
ha…” Satria dan Yosef tertawa.
“Yee,
puas-puasin deh, Sat, buka aib gue!”
“Lho, bukan
membuka aib Yo, aku cerita apa adanya kan?”
“Tapi kan gak harus
segitunya kale, Sat?!”
“Lah, kamu
memangnya ngerasa aib ya, gak bisa bahasa
Jawa? Makanya belajar bahasa nenek moyang.”
“Huh! Nyebelin!”
“Jiah,
ngambek nih…”
“Tapi, kok nama
Miyosi kayak Jepang ya? Kalian kan asli Jawa?”
“Yos, adekku itu
namanya Miyosi Margi Utami, itu dari bahasa Jawa artinya menemui jalan yang
utama. Keren kan?”
“Waaah…tidak
menyangka. Iya, nama yang bagus.”
Senja sudah
benar-benar hilang saat kapal meninggalkan pelabuhan. Satria dan Yosef masih
bertukar cerita dan aku memilih untuk tidur.
Menjelang subuh
kapal merapat di pelabuhan Wasior, Teluk Wondama. Setelah salat Subuh, kami
melanjutkan perjalanan ke kampung Dusner yang terletak di Kecamatan Kuri
Wamesa. Memasuki kampung, seorang nelayan yang kami temui mengantar kami ke
rumah Desa. Desa adalah panggilan untuk kepala kampung. Mama Desa menyambut
kami dengan ramah dan menyuguhkan sagu forno dengan parutan kelapa yang gurih.
Setelah istirahat
sebentar, Desa mengantar kami ke tempat tujuan. Sepanjang perjalanan Satria dan
Yosef terlihat antusias berbincang dengan Desa.
“Penduduk di
kampung ini sudah tidak banyak yang bisa bahasa Dusner.”
“Wah…sayang
sekali…”
“Karena memang
bahasa itu tidak sering dipakai…” ucap Desa. ”Nah itu rumahnya, kita sudah
sampai.”
Kami memasuki
halaman rumah, seorang nenek yang kira-kira berusia delapan puluh tahun sedang
memisahkan ubi jalar dari tangkai dan daun-daunnya. Lalu aku dengar Desa bicara
pada nenek itu dengan bahasa yang tidak aku mengerti.
“Itu bahasa Papua
ya?” tanyaku kepada Yosef.
“Itu bahasa
Wandamen,” jawab Yosef. Aku ber-o panjang.
Beberapa saat
kemudian nenek itu memandang kami dan tersenyum ramah. Kami menyalami
bergantian. Lalu Yosef menyiapkan alat perekam, dan nenek itu mengucapkan
bahasa yang sama seperti tadi—aku tidak mengerti artinya.
“Bahasanya sudah
sedikit tercampur dengan bahasa Wandamen dan Wamesa,” jelas Desa.
Setelah dirasa
cukup, perjalanan dilanjutkan kembali. Kali ini kami menemui seorang nenek
lagi. Dan seperti sebelumnya, Yos merekam kata-kata nenek itu. Kami berkeliling
kampung hingga matahari memanjangkan bayang-bayang.
“Masih ada lagi
kah, Desa?”
“Sudah, sudah tidak
ada. Hanya tiga orang saja yang bisa bahasa Dusner,” jawab Desa. Lalu kami
kembali ke rumah Desa.
“Gue heran
deh, kampung ini dinamai dengan Dusner, tapi kenapa yang bisa bahasa Dusner
tinggal tiga orang saja ya?” tanyaku sambil menyelonjorkan kaki yang terasa
pegal-pegal.
“Dusner itu artinya
tanah suci. Katanya dulu kampung ini menjadi pergulatan antara Injil dan
budaya,” jawab Yosef.
“Dan itulah tujuan
kami ke sini Yo, meneliti kenapa bahasa Dusner bisa
punah. Kalau bisa diselamatkan, kami akan mengusahakan itu.”
“Aku salut dengan
semangat Satria. Kalau Satria saja semangat aku sebagai anak Papua berjanji
akan lebih semangat lagi.”
Aku tersenyum
melihat Satria dan Yosef. Di mataku mereka adalah orang-orang unik.
“Kenapa senyum-senyum,
Yo?”
“Haha…ya, beruntung
di Indonesia ini masih ada orang-orang seperti kalian.”
“Tentu, kalau
orang-orangnya seperti kamu semua akan jadi apa nusantara ini? ha ha…” Satria
terbahak.
“Ya, itulah kita
memang harus menghargai bahasa. Ada pesan dan konsep tentang kehidupan di dunia
ini yang terkandung di dalamnya.” Yosef mulai bicara serius.
“Pernah baca
pernyataan Profesor Oktaviana?” tanya Satria.
“When you can
talk and work in your language you are child of the land, ketika anda
bisa berbicara dan bekerja dalam bahasa anda, maka anda adalah anak negeri,”
jawab Yosef yang disambut tawa oleh Satria.
“Hua ha ha…kamu
bisa-bisa tidak diakui sebagai orang Jawa Yo. Soalnya kamu kan tidak bisa
bahasa Jawa,” Satria kembali meledek, aku mencibir.
“Kalau tidak diakui
sebagai orang Jawa, orang Papua juga mau mengakui,” Yosef tersenyum.
“Nah, apalagi kalau
kamu bisa bahasa Dusner,” Satria menyambung kalimat Yosef.
“Ya, dengan senang
hati pasti kami akan menerimamu di tanah suci ini.”
Kami tertawa
bersama. Ah, seperti ada rasa lain di hatiku. Mengasyikkan juga ternyata yang
dilakukan Satria.
Tiba-tiba aku rindu
ibu, rindu pulang kampung. Rindu mendengar ibu berbicara kepada orang-orang
dengan bahasa Jawa halus.
Dan di sepanjang
senja di tanah Dusner itu, kami masih membahas bahasa dengan ditemani angin
Teluk Wondama.
Gadingkirana-031-63119211
Sumber: 1.Papua
Post 12 februari 2011
2. Jawa Pos 6
januari 2010
3. Wikipedia
4. http://ruraltrips.wordpress.com
loading...