oleh Nurel Javissyarqi
Sebelum
menulis ini, ada ruh-ruh menawarkanku untuk melewati gelombangnya, sedenyar
cahaya bertumpuk-tumpuk pelbagai warna fajar atau senjakala bertuah. Ruh suara
itu kadang mengambang, menelisiki ceruk bumi rahasia, dikala naik setinggi
derap selat Sunda. Berhamburan sumringah mengabarkan gugusan kilau tak terkira.
Aku
mereka-reka di antara ombak yang berkejaran, berpelukan dalam hangat penciuman
maut. Kehakikian kasih melingkupi jangkauan, serupa malam disepuh purnama,
dikala siang dicahayai kemabukan kerja. Lantas bertubi-tubi datang sinyal tak
kukenal bagai lukisan-lukisan asing namun teramat dekat dengan kepastian;
sayatan pilu, keluhan tak luruh mengabadikan tembang-tembang kalimah pujian.
Sedikit
kugeser letak bersila, ada sebentuk paku mencincang tubuh menancapi gunung
Krakatau dengan nyala selalu menghamburkan kilatan api. Disusul rintikan
gerimis turun membekukan ingatan, menggigilkan kekhusyukan, diruapi yang tak
kekal bermutiara kesucian, melewati jari-jemari air langit membiru nan
membentang.
***
Dalam
cerpen-cerpennya, ada keyakinan meleburkan jiwa-raga. Perasaan semesta
kepatuhan kepada nilai-nilai moyang menjaga dalam sikap menafaskan kata,
dibumbuinya helahan nafas. Dan tiap titik ditekankan kausalitas tak terbantah;
bayu lembut kadang bening padat, dibagi-bagikan seluruh tarikan nafas pembaca,
realitas hari-hari diperas, dimasa membetot akar-akar jantung pemuda.
Tidakkah
gelombang jiwa mengamuk, menumpaskan segenap tanjung karang kebisuan, dipukuli
wewaktu syahdu. Pada gilirannya menempeli pohon kesejatian, menjelma getah yang
kelak merekatkan ingatan. Pepundi lama dipunggah, tangis pantai jeritan batu
bergema, di dalam relung-relung hati yang dahaga; kesunyian sujud melekat
panjang di lantai marmer pendapa.
Aku tatap
potongan untaian rambut kalimahnya bersimpan air mata yang pada
bagian-bagiannya membuai makna. Ujaran hidup untuk bersungguh menempuh tapak
langkah menuju gubuk pertapaan.
Kupandang
dedaunan kehidupan penyapa, peputik kembang memberi kecupan, yang diantar angin
pagi memerah. Batuan terinjak betapa santun menerima pengertian, kala mengupas
lelapisan cangkang usia.
Hampir
setiap mata menyapa, ada kedip takdim, bibir terkatup berdecak kagum. Entah, ia
telah meloloskan berapa takdir hingga jiwanya merdeka. Setidaknya itu hukum
kebebasan mencipta dari pengurbanan; yakni kalbu teduh akan tentram, kegusaran
sebab dinaungi bayang-bayang buram kejahiliaan.
***
Bagi
penyimak tak kenal lelah dipenuhi ubun-ubunya pelbagai titah, bagi pembaca
pemalas cukup tersedia kilatan dentingan besi bertubi-tubi melelahkan. Antara
itu, keterjagaan kantuk-kesadaran memilih kata.
Seperti
seorang empu memilah bahan apa saja guna melengkapi mantranya. Karyanya
seonggokan kayu jati sekokoh balada, hingga hikayat dilantunkan berabadi ke
tepi-tepi cakrawala, di setiap ruang-waktu menujum berkah.
Entah berapa
kali meyakinkan kata, ditempatkan di posisi semestinya, yang hampir ke derajat
takdirnya. Umpama pahatan wirid memancar sekeliling pelosok sejati rasa;
kebeningan tekad seagung memaklumati persendian karya.
Ketabahan
telisik membuatnya mampu bertahan atas apa yang dibangun di setiap cerpennya
mempunyai ruh menggumpal keras; udara tersusun nafas-nafas ketelatenan mengudar
tanpa pamrih, hanya teruntuk sikap menundukkan jiwa angkuh.
Tepatnya
menyantunkan para pembaca seperti tak disengaja. Lantaran kepastian bola
matanya tertuju ruang hampa, yang disuguhkan tidak terdesir nalar sebelumnya,
tak terfikirkan sketsa yang sudah-sudah.
Memang
gagasannya tak selalu baru, tapi murni daya penceritaannya mengundang
penasaran. Rupa takdir dinanti banyak orang di suatu negeri akan hari-hari
besar, yang digapai ikhtiar menderas dari belakang.
***
Ia belum
banyak dikenal, tetapi meski begitu ada harapan besar melebihi gelombang di
pantai ujung pulau Sumatera. Jikalau sikap kewaspadaan dirawat, ingatannya
tetap menujah bumi pertiwi, dan semangatnya serentetan ke pepulauan di
Nusantara.
Syarat-syaraf
cerpennya sangat lain dengan yang bertebaran di media massa. Entah keyakinan
sekesumat bagaimana, dirinya menetapkan keteguhan demikian purna. Keinsyafanya
seperti petapa di belantara kota, bebuah lampu bergelantung, kabel-kabel
bergelayut setangkai kembang malam. Ia memasuki lorong sunyi, keadaban
silam-semilam sedengungan purba, ditarik sepanjatan doa ibunda bagi
anak-anaknya, di bencah perantauan akal budhi manusia.
Pancakan
nafas karyanya merasuki takdir abadi. Mungkin mereka tak mengelak jikalau ia
kusebut tengah disusupi auranya May Ziadah yang menanti Gibran diselumuti kabut
misteri, atau ayunan langkah seanggun Rabi'ah Al Adawiyah. Atau pemberontakkan
sepedas Nawal El Saadawi? Ahai, hanya takdir dirinya menjawab. Kelak di atas
pancaran sekarang, yang lalu pondasinya mengencangkan setiap tekat, seulet
tali-temali tambang pelabuhan.
Sebagian
karyanya mengingatkan aku pada cerpen-cerpen karangan Mustofa Bisri, dan
almarhum Zainal Arifin Thoha. Yang berangkat dari realitas hikmah oleh sumur abadi,
pada ujaran-ujaran pekerti yang diyakini. Maka barangsiapa meneguknya
memperoleh pengetahuan, sejumlah cidukan dari kisaran digeluti sehari-hari.
Seperti para
ulama’ sufi mengudar hikayat sahabat-sahabatnya, atas pantulan cermin
kebertemuan cahaya. Atau perasan intisari di bawah pengendapan bertumpuk
memendarkan tafsir, yang berbenang merah halus tetapi besar gulungannya,
sehingga tak melenceng sedari tahap tingkatan waktu, dan nilai yang dibangun.
Seakan tak
dapat disangkal, ia menulis tak bertujuan menjadi pengarang, namun hasratnya
menggerakkan kalbu pembaca semisal bayu menerbangkan dedaunan menggoyang lekat
di pohonnya; bebatang, reranting, kekulit berpori-pori mencecap kehalusan budi
bahasa. Umpama sap-sap gelombang nan halus tingkatannya, kekhusyukan pembaca
menjadi penentu kepenuhan yang disimaknya.
La-Lamp-Lam
Juni 2011
http://sastra-indonesia.com/tag/sw-teofani/
loading...