oleh Ersis
Warmansyah Abbas
BERKILAH. Believe it or not. Sejak beberapa
tahun belakangan saya mendedikasikan diri untuk sharing menulis. Untuk semua
itu tidak meminta bayaran. Kalau ada yang mengirimi uang adalah rezeki tidak
terduga. Terima kasih. Jujur saja ada kebanggaan menyelinap ke relung hati.
Semakin banyak yang ‘sukses’ menulis semakin nyaman di rasa.
Alhamdulillah,
puluhan pesharing yang berhasil menulis bukan sekadar untuk diposting di media
online, di media cetak, tetapi menjadi buku. Kenapa berhasil? Yaps, karena
melakukan menulis. Menundukkan diri, mengenyahkan malas membuang alasan.
Melakukan menulis dengan serius.
Angkatan
pertama, Syamsuwal Qomar, Rahayu Suciati, Hanna Fransiska, Rahmadona Fitria dan
belasan lainnya awalnya diwajibkan menulis minimal satu tulisan sehari dan
dalam sebulan menjadi buku. Angkatan berikutnya diperlonggar. Saya
terkaget-kaget juga mereka mampu melalui masa-masa sulit menulis, melawan diri;
melawan beralasan dan berkilah. Alhamdulillah buku-buku mereka sudah beredar.
Bangga.
Lalu
bagaimana dengan mereka yang gagal? Itu dia. Kesimpulan tentatif, tidak mampu
memenej diri, tidak berani istiqamah, tidak kuat belajar. Sangat fasih
‘memainkan’ alasan. Ada saja alasannya. ‘Raja Alasan’, ‘Ratu Berkilah’. Buku
mereka tidak pernah menjadi. Bagaimana mau menerbitkan buku kalau menulis
bagian buku saja beralasan, dan membukukan tulisan beralasan. Alasan menjauhkan
diri dari berprestasi.
Beralasan
Raja Alasan,
biasanya beralasan sibuk, repot, atau apalah begitu. Padahal intinya tidak
mampu memenej diri. Saya suka tertawa geli mendengar rupa-rupa alasan.
Misalnya, seorang mahasiswa dengan alasan tugas. Pastilah mengerjakan tugas
perlu waktu, perlu membaca, perlu menganalisis dan seterusnya. Siapa pun yang
kuliah sudah pasti melakukan hal-hal demikian.
Tugas saya
sebagai mahasiswa S3 tentu tidaklah kalah dengan mahasiswa S1 atau S2.
Prinsipnya, mengerjakan tugas tidak dibumbui alasan. Dosen pemberi tugas mana
peduli dengan alasan. Kalau tugas tidak diserahkan tidak lulus. Simpel. Tidak
usah berpikir begini-begitu. Praktis saja.
Soal
mahasiswa merasa terpaksa itu soal lain. Pokoknya tugas selesai kalau tidak ya
tidak lulus. Ada kepastian. Karena dijadikan sesuatu yang pasti proses
mengerjakan tugas bukan lagi menjadi beban, tetapi kesenangan. Visinya jelas,
terang- menderang agar persyaratan terpenuhi dan lulus mata kuliah. Nyaman saja
begitu.
Jelas sudah,
banyak orang apabila dipaksa kemampuan menulisnya sangat bagus. Contohnya
mengerjakan makalah dan selesai, dan mendapat penghargaan, lulus mata kuliah
tertentu. Pertanyaan menggelitiknya: Setelah menjadi sarjana, magister atau
doktor kenapa mandul menulis? Kesalahan pasti bukan pada pengetahuan, tetapi
karena tidak mampu memenej diri. Implikasinya kalau berkeinginan produktif
menulis, paksa diri, lakukan menulisnya. Bukan mengumandangkan aneka alasan.
Atau dalam bahasa lebih bersahabat, budgeting of time. Nyamankan diri menulis
sesuai jadwal buatan sendiri.
Berkilah
Orang-orang
beralasan karena tidak mampu memenej diri, memenej pikiran dan perasaan.
Ketidakmampuan ditabalkan menjadi alasan. Saya sibuk, saya dosen yang mengajar
kesana-sini atau mengantar anak ke sekolah. Macam-macamlah alasan. Alasan
adalah musuh menulis. Masalah kita adalah bagaimana agar tidak beralasan.
Orang yang
terbiasa beralasan biasanya ditandem dengan berkilah. Kilahan menguatkan alasan
sehingga sasaran menulis menjadi kabur. Alasan sibuk dijadikan kilahan: Saya
susah menulis karena sibuk sementara pekerjaan saya banyak. Selama kita hidup
ya sibuklah dalam artian beraktivitas. Tidak mau beraktivitas berarti mati
dalam hidup. Berkilah sebagai pembenaran alasan.
Saatnya
alasan dan kilahan ditukar dengan menulis. Begitu alasan menggoda enyahkan. Ganti
dengan memainkan jari-jari di tuts komputer. Berkilahnya dengan menulis. Istri
berkilah karena melayani suami. Memangnya bersanggama sepanjang hari?
Suami-istri haruslah saling melayani. Tetapi, tidak dijadikan alasan, bukan
untuk berkilah. Setelah tugas selesai menulislah. Setelah mengantar anak
menulislah.
Kalau alasan
yang dijadikan pegangan, ya waktu 15 menit untuk menulis akan susah didapatkan.
Apabila terbiasa, dalam 15 menit menulis, Insya Allah menjadi tulisan. Begitu
mudahnya melakukan dibanding beralasan. Jadi, mari menulis, melakukan menulis.
Tetapi, kalau memilih menjadi Raja Alasan, Ratu Berkilah silakan saja. Posisi
nyaman bagi pemalas.
Bagaimana
menurut Sampeyan?
loading...