SELAMAT DATANG DI KAWASAN TUAS MEDIA! ANDA SAAT INI SEDANG BERADA DI LAMAN YANG MENYAJIKAN SEPUTAR DUNIA PENERBITAN BUKU DAN INFORMASI LAINNYA

Menulis di Otak: Mengenyahkan Alasan

oleh Ersis Warmansyah Abbas

BERKILAH. Believe it or not. Sejak beberapa tahun belakangan saya mendedikasikan diri untuk sharing menulis. Untuk semua itu tidak meminta bayaran. Kalau ada yang mengirimi uang adalah rezeki tidak terduga. Terima kasih. Jujur saja ada kebanggaan menyelinap ke relung hati. Semakin banyak yang ‘sukses’ menulis semakin nyaman di rasa.

Alhamdulillah, puluhan pesharing yang berhasil menulis bukan sekadar untuk diposting di media online, di media cetak, tetapi menjadi buku. Kenapa berhasil? Yaps, karena melakukan menulis. Menundukkan diri, mengenyahkan malas membuang alasan. Melakukan menulis dengan serius.

Angkatan pertama, Syamsuwal Qomar, Rahayu Suciati, Hanna Fransiska, Rahmadona Fitria dan belasan lainnya awalnya diwajibkan menulis minimal satu tulisan sehari dan dalam sebulan menjadi buku. Angkatan berikutnya diperlonggar. Saya terkaget-kaget juga mereka mampu melalui masa-masa sulit menulis, melawan diri; melawan beralasan dan berkilah. Alhamdulillah buku-buku mereka sudah beredar. Bangga.

Lalu bagaimana dengan mereka yang gagal? Itu dia. Kesimpulan tentatif, tidak mampu memenej diri, tidak berani istiqamah, tidak kuat belajar. Sangat fasih ‘memainkan’ alasan. Ada saja alasannya. ‘Raja Alasan’, ‘Ratu Berkilah’. Buku mereka tidak pernah menjadi. Bagaimana mau menerbitkan buku kalau menulis bagian buku saja beralasan, dan membukukan tulisan beralasan. Alasan menjauhkan diri dari berprestasi.

Beralasan
Raja Alasan, biasanya beralasan sibuk, repot, atau apalah begitu. Padahal intinya tidak mampu memenej diri. Saya suka tertawa geli mendengar rupa-rupa alasan. Misalnya, seorang mahasiswa dengan alasan tugas. Pastilah mengerjakan tugas perlu waktu, perlu membaca, perlu menganalisis dan seterusnya. Siapa pun yang kuliah sudah pasti melakukan hal-hal demikian.

Tugas saya sebagai mahasiswa S3 tentu tidaklah kalah dengan mahasiswa S1 atau S2. Prinsipnya, mengerjakan tugas tidak dibumbui alasan. Dosen pemberi tugas mana peduli dengan alasan. Kalau tugas tidak diserahkan tidak lulus. Simpel. Tidak usah berpikir begini-begitu. Praktis saja.

Soal mahasiswa merasa terpaksa itu soal lain. Pokoknya tugas selesai kalau tidak ya tidak lulus. Ada kepastian. Karena dijadikan sesuatu yang pasti proses mengerjakan tugas bukan lagi menjadi beban, tetapi kesenangan. Visinya jelas, terang- menderang agar persyaratan terpenuhi dan lulus mata kuliah. Nyaman saja begitu.

Jelas sudah, banyak orang apabila dipaksa kemampuan menulisnya sangat bagus. Contohnya mengerjakan makalah dan selesai, dan mendapat penghargaan, lulus mata kuliah tertentu. Pertanyaan menggelitiknya: Setelah menjadi sarjana, magister atau doktor kenapa mandul menulis? Kesalahan pasti bukan pada pengetahuan, tetapi karena tidak mampu memenej diri. Implikasinya kalau berkeinginan produktif menulis, paksa diri, lakukan menulisnya. Bukan mengumandangkan aneka alasan. Atau dalam bahasa lebih bersahabat, budgeting of time. Nyamankan diri menulis sesuai jadwal buatan sendiri.

Berkilah
Orang-orang beralasan karena tidak mampu memenej diri, memenej pikiran dan perasaan. Ketidakmampuan ditabalkan menjadi alasan. Saya sibuk, saya dosen yang mengajar kesana-sini atau mengantar anak ke sekolah. Macam-macamlah alasan. Alasan adalah musuh menulis. Masalah kita adalah bagaimana agar tidak beralasan.

Orang yang terbiasa beralasan biasanya ditandem dengan berkilah. Kilahan menguatkan alasan sehingga sasaran menulis menjadi kabur. Alasan sibuk dijadikan kilahan: Saya susah menulis karena sibuk sementara pekerjaan saya banyak. Selama kita hidup ya sibuklah dalam artian beraktivitas. Tidak mau beraktivitas berarti mati dalam hidup. Berkilah sebagai pembenaran alasan.

Saatnya alasan dan kilahan ditukar dengan menulis. Begitu alasan menggoda enyahkan. Ganti dengan memainkan jari-jari di tuts komputer. Berkilahnya dengan menulis. Istri berkilah karena melayani suami. Memangnya bersanggama sepanjang hari? Suami-istri haruslah saling melayani. Tetapi, tidak dijadikan alasan, bukan untuk berkilah. Setelah tugas selesai menulislah. Setelah mengantar anak menulislah.

Kalau alasan yang dijadikan pegangan, ya waktu 15 menit untuk menulis akan susah didapatkan. Apabila terbiasa, dalam 15 menit menulis, Insya Allah menjadi tulisan. Begitu mudahnya melakukan dibanding beralasan. Jadi, mari menulis, melakukan menulis. Tetapi, kalau memilih menjadi Raja Alasan, Ratu Berkilah silakan saja. Posisi nyaman bagi pemalas.
Bagaimana menurut Sampeyan?


loading...