“LO tahu
nggak San, siapa mata-mata Bu Nania di lorong kita ? tanya Tika penghuni
kamar 012.
“Si Bela ketua kelas kita kali. Dia kan sering banget ketemu Bu Nania buat
ngasihin absensi tiap kegiatan,” Santi menyahut sambil tetap mengguyur badannya
dengan air di bak mandi.
“Kalau menurut lo, La?”
“Ah man gue tahu. Tapi intinya tega banget tuh orang yang mau jadi mata-mata Bu
Nania. Mau dikeroyok orang selorong apa? Awas aja kalau ketahuan,” ancam si Lia
si super bawel di lorong”Ceria” ini
Tak ada satu kata pun yang hilang dari telingaku tentang senua pembicaraan
mereka. Kebetulan aku sedang mencuci baju di kamar mandi. Jadi dengan sengaja
aku pun menyimak pembicaraan mereka . Sama seperti mereka. Penasaran. Teringat
kembali dalam pikiranku tentang kata-kata Bu Nania semalam, saat kami
mengadakan acara rutin mingguan makan bersama.
“Seperti yang kalian ketahui, di lorong kita ini sudah tidak aman lagi. Banyak
yang melanggar peraturan walau sudah sering ibu peringatkan. Ada yang berlarian
dari kamar mandi hanya mengenakan handuk, ada yang bawa alat elektronik hingga
lampu kamar semua mati. Pada hal kalian tahu daya listrik disini terbatas. Yang
paling memprihatinkan adalah peristiwa hinganya Handphone milik Novi.
Peraturan dibuat itu untuk ditaati bukan untuk dilanggar! Ibu kecewa pada
kalian semua. Dan tolong kalian pikirkan kata-kata ibu tadi.”
Semua diam mendengar ceramah singkat Bu Nania. Entah apa yang ada dalam pikiran
mereka. Mungkin sama seperti aku yang sedang merenungi semua pelanggaran yang
pernah kulakukan. Kecuali mencuri Handphone Novi. Belum semua sadar dengan
lamunannya masing-masing, Bu Nania melanjutkan ceramahnya tadi.
“Sebagai penanggung jawab di lorong ini, ibu minta maaf tidak bisa memantau
kalian secara langsung dan terus menerus,” semua terlihat lega dan sedikit
menyunggingkan senyum kemenangan pertanda kebebasan akan segera dimulai. Begitu
juga aku.
“Untuk itu, ibu akan pilih dua orang di antara kalian yang akan jadi mata-mata
di sini. Tapi hanya ibu dan dua orang itu yang tahu. Jangan pernah kalian
berpikir bahwa dua orang itu terbebas dari pantauan karena satu sama lain dari
mereka pun tidak saling tahu. Jadi sebenarnya mereka berdua juga saling
memata-matai. Ibu harap kalian mengerti.” Lagi-lagi semua diam saling memandang
seakan ada pertanyaan yang sama dari tiap sorot mata mereka.
“Lo ya orang itu?”. Dan bagi mereka yang mendapat tatapan aneh seakan tersirat
jawaban “Bukan! Bukan gue… Sumpah.” Setelah peristiwa makan malam bersama,
gossip tentang mata-mata Bu Nania terus berkembang seakan jadi saling
tuduh dan saling mencurigai.
********
“Aneh…” batinku ,“Mereka berubah”.
Tatapan mereka membuatku tersudut seakan ada tuduhan kejam untukku.
Kurebahkan badanku di ranjang susun tempat aku melepas lelah tiap hari. Hampir
saja aku lupa sesuatu yang sangat penting. Aku harus menyelesaikan tugas kimia
untuk besok pagi. Tapi aku nggak punya buku kimia sebagai bahan tugas itu. Aku
bergegas Novi. Kamarnya tepat di depan kamarku. Tiga kali kuketuk pintu
kamarnya. Ada perasaan aneh dan nggak nyaman menyelinap dalam hatiku.
“Mau apa lo?” Tanya Novi sinis hingga membuyarkan lamunanku. Hanya kepalanya
saja yang nongol dari balik pintu. Seakan aku nggak boleh masuk. Aku mendengar
ketiga temannya berbisik-bisik nggak jelas. Tapi aku yakin korban pembicaraan
mereka adalah aku.
“Nov, aku mau pinjem Modul Kimia kamu. Boleh nggak?”
“Nggak ada buat Lo!” katanya sambil cepat menutup pintu. Takut aku memaksa
masuk dan mengambil bukunya dengan lancing. Aku tak menyerah.
“Ika…Ika… bukain pintu dong!” Satu kepala lagi nongol dari balik pintu yang
hanya terbuka sedikit.
“Ada apa? Mau apa lo?”
“Mau pinjem Modul Kimia kamu, boleh nggak?” Kukuatkan hatiku menerima muka muak
Ika yang aku yakin dia persembahkan untukku. Dan aku makin yakin pasti jawaban
yang akan meluncur dari mulut Ika nggak jauh berbeda dengan Novi tadi.
“Nggak ada buat lo!”.
Tepat sekali dugaanku. Aku tetap tak putus asa. Kuketuk beberapa kamar dengan
tujuan yang sama. Tapi hasilnya nihil. Aku mendapat perlakuan yang sama. Bahkan
ada yang tega mengeluarkan sindiran-sindiran pedas yang aku sendiri nggak tahu
apa maksud sindiran itu. Kini aku benar-benar kesal. Kuurungkan niat
pinjam buku milik teman-teman satu lorong, juga milik teman-teman sekamarku
yang perlakuannya nggak jauh berbeda dengan yang lain. Kecuali Anti yang
ranjangnya persis di atasku.
Dia masih punya hati.
********
“Gue salut sama lo… lo… semua. Ternyata lo bisa juga nahan orang daerah itu
biar nggak masuk kamar lo semua. Kita mesti hati-hati sama dia! Jangan sampai
dia masuk kamar lo semua, kalau lo memang nggak mau dilaporkan ke Bu Nania,”
Lila memprovokasi semua anak-anak lorong dengan sempurna. Dan bodohnya semua
tersihir oleh buaian Lila si cerewet parah.
“Iya bener… dia udah mulai aneh, makanya mumpung nggak ada orangnya, gue ama
Lila kasih tahu lo semua bahwa Fitri, orang daerah itu adalah mata-mata Bu
Nania. Kurang baik apa coba?” Santi dengan semangat membara menguatkan
pernyataan Lila.
“Nggak mungkin, Gue tahu Fitri, dia temen sekamar gue. Dia bukan tipe orang
yang bisa dijadikan mata-mata. Percaya deh ama gue! Di kamar pun dia nggak
aneh-aneh sama sekali. Biasa aja kok,” Anti menyanggah mentah-mentah provokasi
Lila dan Santi.
“Terus siapa dong?” tanya Novi penasaran yang juga di “iya” kan oleh seluruh
peserta ngerumpi.
“Mana gue tahu. Ya udah nggak usah dibahas lagi. Yang terpenting mulai dar
sekarang kita harus belajar untuk menaati peraturan. Jadi, ada nggaknya
mata-mata di sini nggak akan ngaruh buat kita. Buat apa juga ngabisin waktu
ngomongin hal nggak jelas gini,” kata Anti mantap dan meyakinkan semua peserta
rumpi.
“Dan lagi tega banget sih kalian nyebarin berita yang belum tentu benar.
Fitnah, tahu!” Tambah Anti penuh emosi. “Fitri itu baik. Memang diantara kita,
dia paling jarang melanggar peraturan. Tapi bukan berarti dia mata-mata itu!”
kata Anti lagi. Dia nggak rela melihat temannya difitnah, diperlakukan tidak
adil, bahkan dijadikan sebagai bahan gunjingan.
*******
Selang beberapa hari setelah perang argumen antara Lila, Santi dan Anti,
perkumpulan antara ketua kelas dan wakilnya Lila dan Santi serta semua
anggotanya termasuk Anti berlangsung kembali. Aku yang baru saja selesai
mengerjakan PR di kamar, ingin ikut nimbrung di kerumunan mereka. Baru aku
memegang gagang pintu hendak keluar, aku mendengar sesuatu.
“Sekarang gue yakin mata-mata itu adalah Bela dan Fitri. Gue udah melakukan
penelitian. Si bela tiap hari ketemu Bu Nania dan Fitri dia orang daerah. Sifat
orang daerah itu tunduk dan patuh. Selain itu Fitri juga jarang melakukan
pelanggaran.
Aku kaget mendengar semua itu.Kuurungkan niatku bergabung dengan mereka. Tubuh
ini serasa tak bertulang lagi. Aku baru mendapat jawaban atas anehnya perlakuan
mereka padaku.
“Kenapa sih kalian semua masij aja ngomongin masalah nggak jelas ini? Terutama
ama lo…lo…!” Anti menunjuk Santi dan Lila. Tak tahan, diapun pergi.
Aku senang mendengar sanggahan Anti yang masih mau membelaku. Dan kini
kuberanikan diri untuk keluar.
“Lagi pada ngomongin apa nih? Ikutan dong,” aku membaur dengan mereka dan
pura-pura nggak tahu.
“Ngomongin lo,” kata Lila ketus. “Udah deh lo ngaku aja! Lo kan mata-mata Bu
Nania itu? Iya kah?”
“Iya ngaku aja lo!” semua serentak menyudutkanku dan menguatkan tuduhan Lila
untukku.
“Idih bukan aku! Emang kamu nggak tahu kalau aku juga pernah melanggar
peraturan. Sama juga kan seperti kalian? Lalu kenapa kalian menuduhku? Dan tuduhan
kalian nggak masuk akal. Aku udah dengar Karena aku anak daerah? Ya nggak
nyambunglah. Janagan-jangan malah ada diantara kalian? Coba tanya aja sama
orang yang selalu semangat ngomongin mata-mata Bu Nania. Nggak ada
sejarahnya kan penjahat ngakuin kejahatannya?” jawabku tak kalah galaknya
dengan Lila tadi.
“Kok jadi gue sih? Kenapa kalian jadi melototi gue?” Lila kebingungan menerima
tatapan semua anak. Dia juga kebingungan mencari tempat untuk menyimpat muka
pucatnya. Semua tersentak kaget ditambah dengan berubahnya muka Lila yang makin
menguatkan tuduhanku.
“Belum tentu Bela juga. Dia kan ketemu Bu Nania hanya untuk ngasih
absensi. Emang mentang-mentang ketemu tiap hari Bu Nania langsung percaya
begitu saja sama Bela? Nggak juga kan?” tambahku semangat.
Bela adalah satu-satunya anak lorong ceria yang nggak pernah ikutan ngerumpi.
Baginya ngomongin hal-hal nggak penting adalah buang waktu percuma. Makanya dia
jarang ada di asrama. Sesekali ada di asrama, bisa dipastikan dia baru saja
ketemu Bu Nania untuk ngasih absensi. Itupun hanya sebentar. Waktunya dia
habiskan untuk melahap buku terbaru di perpustakaan.
Suasana jadi tegang dengan perubahan muka Santi yang tak jauh beda dengan Lila.
Lila semakin tersudut.
“Lo, San?” tanya Tika nggak percaya.
Tak kusangka Tika masih ingat perbincangannya saat di kamar mandi beberapa hari
lalu. Sebenarnya aku iba melihat Lila dan Santi yang diam tersudut oleh
keadaan. Semua memandang kearah mereka berdua, kesal merasa dibohongi. Terlihat
dari tatapan mata mereka bahwa mereka ingin menyangkal semua tuduhanku. Tapi
tak berani mereka lakukan. Mungkin karena mereka melihat tatapan mataku yang
jauh lebih ganas karena diliputi emosi. Dan aku membaca pikiran mereka. Semakin
mereka membantah tuduhanku, maka mereka akan makin tersudut. Keputusan mereka
memang tepat. Memilih diam dan menerima kenyataan.
******
Lama-kelamaan berita tentang mata-mata Bu Nania hilang tak terdengar lagi.
Semua rasa penasaran telah terjawab. Sejak saat itu, aku jadi pribadi pendiam.
Ada kebiasaan baru dalam hidupku yang selalu kulakukan setiap malam menjelang
pergantian hari. Yaitu menulis catatan kecil. Tapi anehnya aku tak mengerti apa
yang kutulis. Hanya ada tiga angka dan tiga huruf tertulis di dalamnya. Hanya
aku yang dapat membacanya. Tiap kali aku mengisi buku kecil sedikit tebal
berwarna biru langit ini, hatiku terasa berat.
KMN (Kimono handuk), CLP (celana pendek), HND (handuk), NOK (nomor kamar), dan
NMA (nama). Dan rangkaian kalimat di bawahnya tertulis Nggak ada
sejarahnya seorang penjahat mengakui kejahatannya…
Bu Nania percaya padaku.
Maafkan aku teman… Semua tertulis dengan rapi di bawah sebuah judul yang
terbaca dengan jelas pada halaman pertama
LAPORAN PELANGGARAN PERATURAN –LORONG CERIA ASRAMA MELATI-
Tepat dua hari setelah acara makan bersama aku mendapatkan buku kosong kecil
dan sedikit tebal berwarna biru langit dari Bu Nania.
(Majalah
:"Gogirl" - Oktober 2011)
loading...