oleh Bambang Widiatmoko
Ada ingatan pada masa
kanak-kanak saya tentang kali (sungai) yang membuat hati saya berdesir tiap
kali mengingatnya. Kali itu adalah Kali Code yang mengalir di tepian desa tempat
tinggal kakek nenek buyut saya, berbatasan dengan kampus Universitas Gadjah
Mada. Tiap liburan sekolah saya bermalam di rumah leluhur yang tentu pada saat
itu listrik belum tersambung. Tanah pekarangannya sangat luas berbatasan dengan
makam Cina dan Kali Code. Pohon kelapa, nangka, melinjo, dan bambu adalah tanaman
yang tumbuh lebat di pekarangan. Saya terkadang mengintip lobang sumur dan
tampak permukaan airnya terlihat sangat dalam. Menjelang tidur nenek saya
mendongeng bahwa tiap kali gunung Merapi mau meletus, kereta yang membawa Nyai
Roro Kidul dan pengiringnya selalu melewati Kali Code menuju Merapi. Terdengar
suara gemerincing pada saat kereta itu lewat. Entah benar atau sekadar mitos
berbau mistis tetapi cerita itu teringat terus sampai kini.
Sayangnya, sampai saat ini saya
tidak berhasil merekam ingatan tersebut menjadi karya sastra berbentuk puisi.
Kali, tentunya tidak sekadar menorehkan kenangan dan kebahagiaan masa kecil
siapa pun dan di mana pun. Kali bisa mengandung muatan sejarah yang panjang,
Kali, bisa berarti ada kehidupan yang bertopang pada aliran dan kandungan
isinya. Kali dapat berfungsi sebagai pembatas geografis, kultural atau
kekuasaan dari sebuah wilayah dengan wilayah lainnya. Kali, bisa berarti ada
keindahan dan mungkin juga kengerian. Kali, adalah lingkungan hidup kita, yang
telah menjadi perhatian bersama karena pencemaran. Kali, telah mencatat segala
peristiwa dalam keberlangsungan hidup manusia. Banyak puisi yang mengungkapkan
tentang (tema) kali, telah ditulis oleh penyair dari berbagai daerah di
Indonesia. Tema adalah gagasan utama di dalam karya sastra. Di balik tema ada
amanat atau pesan yang disampaikannya. Selain puisi bertema kali, kata kali
juga menarik untuk dijadikan judul buku kumpulan puisi. Misalnya Akulah Musi, Riak Bogowonto, Ziarah
Batanghari. Kali, juga muncul menjadi nama komunitas sastra, misalnya
Komunitas Sastra Kalimalang.
Hal itu menarik untuk menjadi kajian tersendiri.
/2/
Dalam mitologi tokoh di pulau
Jawa yang berkaitan dengan kali tentu melekat nama Sunan Kalijaga. Sunan
Kalijaga semasa kecil bernama Ki Mas Sahid, seorang putra Tumenggung Wilatikta, Bupati Tuban
(Aria Teja). Ia menjadi Muslim yang taat berkat wejangan dari Sunan Bonang, dan
selanjutnya diangkat sebagai wali (Atmodarminto, 2000: 50-60). Konon, sebutan
Kalijaga muncul dari perintah Sunang Bonang yang menyuruh Ki Mas Sahid
“bertapa” di pinggir kali. Cerita tradisi di Jawa memunculkan tokoh bernama
Ratu Kalinyamat. Cerita ini mengisahkan Kalinyamat sebagai pusat kerajaan dan
keagamaan pelabuhan Kota Jepara yang pada awalnya didirikan oleh Wintang,
seorang saudagar Cina yang kapalnya terdampar di Jepara. Wintang adalah seorang
muallaf setelah diislamkan oleh Sunan Kudus dan menikah dengan putrid Sultan
Trenggana dari Demak. Selanjutnya, istri Wintang menjadi ratu Jepara, yang pada
masa kejayaan perniagaan menyandang gelar Ratu Kalinyamat (Reid, 2004: 90).
Ritus atau perayaan-perayaan yang dilakukan terhadap keberadaan sungai pun
dilakukan di berbagai daerah. Penyair dapat menangkap suasana ritus dan dengan
berbagai persepsi dan imajinasinya, lantas dituangkan dalam bentuk puisi. Anwar
Putra Bayu menulis puisi berikut ini:
Ritus
Sungai
Segenap
ikan menggoyangkan ekor
menyelam
dan pergi
limbah
pabrik menggenang. Jadi pembunuh
para
penjala letih saling menatap
kau
kehilangan mata air
air
sungai kepedihan
yang
mengalir di wajah
anak-anakmu.
2012
(Sauk
Seloko, Dewan Kesenian Jambi, 2012: 41)
Ritus Sungai telah menghadirkan
kehidupan baru tentang sungai yang tercemar akibat limbah pabrik. Suasana
kepedihan pun terbangun membaca puisi tersebut. Pencemaran yang terjadi di
sungai dapat dilihat di berbagai kota akibat dampak dari industrialisasi.
Pencemaran yang terjadi di sungai Musi juga menarik perhatian penyair lainnya.
A. Rahim Qahhar menulis puisi Kurakit
Puisi di Sungai Musi dalam
kutipan sebagai berikut://musi, dahulu siti jernih bercermin/dari pagi hingga
malam hari/dari sri susuhunan Abdurrahman/hingga sultan ahmad najamuddin/aku
menanti berabad-abad/kisah ini belum pernah tamat/kini rumah rumah dan limbah
industri/menyamak paras arca seni amarawati//(Akulah Musi, hal. 8-9).
Perjalanan sungai pun terus berlanjut dan akhirnya membawa nasib tersendiri,
seperti yang ditengarai Eka Budianta: //Sungai yang dulu menangis/Di antara
batu-batu di pegunungan/Sekarang telah sampai di kota/Dan terus menuju ke
laut/Tak lagi terdengar derai air terjun/Udara sejuk, nyanyian burung, semerbak
bunga/Telah berganti panas terik dan polusi/Sampah, minyak bekas, ikan-ikan
mati//(Perjalanan Sungai, hal. 8-9).
Secara tersirat segala
perubahan yang terjadi pada kehadiran sungai menjadi daya tarik dalam penulisan
puisi. Jumardi Putra menuliskannya dalam kutipan bait terakhir://Terus kudaki
jalan terjal ke arah sana/Meski sunyi dipayungi duri/Sepanjang jalan, terdengar
nandung/anak-anak sungai ipuh://”Bertahun yang lalu, kami menyusun/batu-batu
cantik di bibir sungai/Kini, entaholeh siapa, bebatuan itu/memilih darat
lain”//(Balada Sungai Ipuh, hal.
24).
Menurut Reid (1992: 64-65),
sebagian besar masyarakat Asia Tenggara terbiasa melakukan ritus tahunan dengan
tujuan untuk membersihkan desa dari roh jahat. Di wilayah pemeluk Islam,
misalnya, bertahan tradisi mandi safar, yaitu suatu ritus mandi bersama yang
dilakukan pada hari Rabu terakhir dari bulan Safar. Di wilayah pemeluk Buddha,
bertahan ritus membersihkan boneka-boneka yang diikuti dengan aktivitas
bersendau-gurau sambil melempar air. Adapun dalam pelarungan sesajen, biasanya
mereka membuat rakit besar dari rotan yang berisi berbagai makanan yang di
atasnya diletakkan sebuah kursi. Mereka melarungnya di Kali sambil berseru
mengusir Sang Roh Jahat atau Sang Wabah, Ritual di kali terbukti lintas agama.
Umat Hindu begitu mengagungkan sungai Gangga sebagai sungai yang suci, Belum
lagi yang ada dalam tradisi sebagian masyarakat di Jawa yang menganggap kali
dapat menyucikan diri lahir dan batin. Tradisi mandi di tempuran, tempat bertemunya
aliran dua kali menjadi satu aliran, sampai saat ini masih banyak yang
melakukan. Beredam di tempuran sungai pada waktu malam tertentu
dilakukan sebagian masyarakat Jawa dalam kaitannya dengan kepercayaan Kejawen.
“Kali atau wilayah perairan sebagai sumber kekuasaan dapat dijumpai pada kisah
cinta Senapati dengan Nyai Roro Kidul – Ratu Laut Selatan dan Retna Dumilah –
Pangeran Timur/Panembahan Madiun (Moedjanto dalam Wasith, 2006: 139).
Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY) di antaranya memiliki wilayah kabupaten bernama Kulon rogo. Kabupaten ini
sesuai namanya terletak di kulon atau barat Kali Progo. Menurut hasil
penelitian Suhindriyo disebutkan, Progo berasal dari Pragya atau Praga, artinya
partirtan di anak Kali Gangga. Kali Progo memiliki aliran sepanjang 135
kilometer, mencakup wilayah Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Magelang (Jawa
Tengah), serta Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul
(DIY). “Mitologi keagamaan dari Kali Progo mengisahkan aliran Progo sampai
daerah Mungkid (Magelang) bertemu dengan aliran Kali Elo. Kata Elo berasal dari
Ayla atau Eyla, yaitu sebutan Kali Yamuna di India yang dimitoskan sebagai kali
suci. Daerah pertemuan dua kali tadi disebut prayaga,
yaitu tempat suci di pertemuan Elo-Progo, sebagai tempat pembangunan kompleks
percandian Buddha yang terdiri dari tri suci candi: Mendut, Pawon, dan
Borobudur yang terletak dalam satu garis lurus (Suhindriyo, 2001: 49-55).
Tentang imaji Kali Progo
ditulis Triman Laksana dalam puisi berjudul Sketsa Kali Progo berikut ini:
Air
yang baru saja habis
Di
pematang-pematang garis tanah
Telah
memberi titik harapan
Tergambar
begitu menyilaukan mata
Untuk
segera dicari pada gerak menanam
segala
jenis masa lampau
Di
panggul pemula masa depan
Masih
mampu menghadirkan nafas hari
Yang
menggetarkan semangat kaki
Dengan
hamparan warna hijau hanya air
yang
bersumber dari keabadian
Dijunjung
tinggi bersama kemenangan
Tak
habis menjalani kesuburan bumi
Segala
yang tertata di mata
Tanpa
harus kembali meminta
Ini
hari
Air
kembali berkata.
(Minggu
Pagi No. 05 Th. 57, 1 Mei
2004)
Berbeda dengan puisi sebelumnya
yang menyiratkan kemuraman. Puisi Triman Laksana tetap menawarkan harapan --
terhadap air yang bersumber pada keabadian. Kearifan alam yang bersumber pada
air pun selalu terjaga.//Tanpa harus kembali meminta/ini hari/air kembali
berkata//. Di tempat lain, melalui panjangnya aliran sungai, mengalir pula
sejarah dan kehidupan yang panjang. M. Raudah Jambak menulis puisi sebagai
berikut:
Sungai
Siak
Dari
jembatan leighton kukunyah riak air
menitip
intip patin-patin. Entahlah,
mungkin
muntah pasar bawah
mungkin
batuk tanjung datuk
dari
jembatan leighton kuhapus tetes air
merayap
jatuh di pipinya yang keruh,
Entahlah,
mungkin gertak tongkang
Mungkin
gerah limbah
Dari
jembatan leighton kusaksikan peluh air
terkenang
sejarah sirih yang pedih. Entahlah,
mungkin
sejarah pohon-pohon batu
mungkin
rerak sendi tanah-tanah retak
dari
jembatan leighton
siak
begitu kepompong
rumbai,
10-11
(Sauk
Seloko, Dewan Kesenian Jambi, 2012: 182)
Ada sejarah panjang diungkapkan
oleh penyairnya tentang keberadaan sungai Siak. Dari terkenang sejarah sirih
yang pedih” sampai “gertak tongkang/mungkin gerah limbah”. Meski “dari jembatan
letong/siak begitu kepompong,” kita bisa merasakan pengaruh atau kejayaan
sungai Siak sejak dahulu hingga kini. Dalam sejarahnya sungai Siak memegang
peranan penting sebagai jalur perdagangan atau pelayaran. Hilir Kali dinilai
strategis dan biasanya dijadikan sebagai ibu kota kerajaan tempat aktivitas
perpindahan antara kapal samudra dan perahu, seperti negeri-negeri di Sumatra
bagian timur – Palembang, Jambi, Indragiri, dan Siak. (Reid dalam Wasith 2006:
139). Sungai Siak juga dapat memberikan gambaran suasana yang romantis, seperti
yang ditulis Satmoko Budi Santosa dalam kutipan ini://demikianlah sampanmu
terayun-ayun/semanyun gadis-gadis melontar balasan pantun//. (Cincin Kawin
di Sungai Siak, hal. 283).
/3/
Kali, memegang peranan penting
dalam kehidupan manusia sejak dahulu sampai sekarang. Sebagai sebuah pilihan,
tema kali selalu menarik untuk dituliskan dalam bentuk puisi. Melalui puisi,
kita bisa melihat keberadaan dan segala peristiwa yang melingkupinya. M embaca
imaji atau citraan dalam puisi-puisi bertema Kali, dapat dilihat makna dan
pesan yang disampaikan penyairnya. Puisi-puisi tentang kali memiliki keragaman
nilai dan terus berkembang nilai-nilai estetiknya sebagai objek estetika dalam
perjalanan sejarahnya. Perjalanan sungai. ***
Pernah dimuat di
Majalah Sagang No 187
loading...