Oleh Fajar Alayubi
Ya, itu aku, dan
itu kamu. Kita bertemu di keramaian pasar ketika langit dan awan masih sesegar
kubis dan brokoli yang selimuti embun-embun pagi. Kita bak seorang pedagang dan
seorang pembeli.
Musim panen selalu
berlangsung di pasar ini setiap hari. Setiap orang dapat menghargai setiap
musim dari selembar daun, setangkai bunga atau satu buah yang mungil--bahkan,
angka kematian pun dapat dilacak dari sekerat pisau dan timbangan-timbangan.
Setiap orang dapat menuruti keinginannya di sini. Setiap bebas memilih sesuka
hati.
Di pasar ini banyak
sekali laki-laki dan perempuan: dari anak-anak sampai manula. Di pasar ini,
kepandaian juga ada pada setiap jajakan. Di pasar ini pasti ada
pertaruhan--seperti sekumpulan lalat atau hewan-hewan liar itu. Mengenal pasar
ini berarti juga mengenal bahwa dunia ditumpu oIeh uang--seperti harumnya bunga
sudah dapat pecah jadi kepingan-kepingan, atau seperti kumbang dan kupu-kupu
yang tak peduli pada spora yang terbawa angin, seperti kertas-kertas untuk
membungkus apa saja.
Itu aku, yang slalu
tersenyum pada sayur-mayurku dan beberapa jenis buah yang kupetik dari sepetak
ladangku. aku tak besar di sini. Sudah kurang-lebih empat bulan aku ada di
pasar ini. Dan aku tak tahu kenapa ada di sini. Ini seperti mimpi, seperti
ketimpangan kodrat zaman: ada Adam karena ada Hawa; ada penjual karena ada
pembeli. Dan kedua hal itu adalah kenyataan yang setiap orang bebas
menerimanya.
"Anggurnya
kelihatan segar, bang..."
"Iya, Non, ini
baru--" kataku terputus.
"Berapa ini,
bang?" lanjutnya.
"Ini--"
belum selesai jawabku."
"Jangan
mahal-mahal ya, bang!?"
"I-i-iya..
Ta-ta-tapi ini masih belum masak, Non..." jawabku.
"Tapi
manis'kan, bang?" tanyanya penasaran. "Tapi kelihatannya manis, kok,
bang..." ia jawab sendiri--hatinya mencicipi penasaran. "Gak apa-apa
deh... saya mau." Hasratnya terlalu kukuh.
Dan seperti itulah
yang terjadi: aku memberinya sesuka hati--meski dia memintaku dan rela menunggu
lama untuk menimbang buah-buah itu. aku mereka-rekanya. aku tak terbiasa
seperti itu. Aaah... aku bagai Zulaikha di hadapan Yusuf. "Ya,
Tuhan... sudah lama hamba mengenal kubis dan brokoli ini. Sudah lama ladang
hamba tanpa anggur sampai kini tak ada sebulir pun yang tersisa."
Lalu kau pun
berlalu.
Seminggu berlalu,
dan kau pun kembali ke hadapanku. "Ya, Tuhan, baru kali rasanya hamba
menjadi raja yang--" ucapku terputus dalam hati.
"Bang!
anggurnya setengah masam... Sudah diperam agar manis, tapi tetap aja..."
gumanmu.
"Mmma-af...
sa-sa-sayaaa--"
"Ya sudah-sudah,
bang! saya juga yang salah. Saya amat memaksakan diri." gumanmu menahan
kecewa. Matamu mengingatkanku pada embun-embun di sayur-mayurku.
"Gi-gimana
kalau diganti saja ya, Non? Non boleh pilih apa aja, kok," tawarku.
Matamu melirik
brokoli segar itu. kau terdiam. kau seolah mengingat sesuatu.
"Kalau begitu,
brokoli juga boleh. Sudah lama saya tidak masak sayur ini, bang," suaramu
begitu lirih. Sesekali kau mencuri gerak tanganku, tapi matamu kulihat lamban
mengejarnya. kau memperhatikan lengan bajuku. kau seolah mencium keringatku.
aku memperhatikan
wajahmu polos tanpa riasan.
-Sketsa-
loading...