Akhir-akhir ini heboh berita viral
terkait pengubahnamaan sebuah nama restoran cepat saji lantaran tercatat di
salah satu BAP polisi atas kesaksian pelapor pada sidang kasus penodaan agama
oleh Zhong Wan Xie. Tulisan ini tidak sedang mengulas masalah hukumnya (karena
saya memang bukan ahli hukum), cuma saya agak sedikit keki dengan masalah
penamaan yang menjadi bahan bullying yang tidak perlu oleh media mainstream.
Apakah itu sekadar untuk menutupi kebenaran pengakuan kesaksian pelapor atau
memang sengaja menjadikan masalah penamaan asing itu untuk menutupi hasil
gelaran dari saksi perkara? Wallahu'alam. Lagi-lagi itu bukan bidang saya
mengulasnya, karena saya tak pernah belajar komunikasi hukum. Jadi, saya tak
mau sok cendikia mengulas sesuatu yang tak pernah saya pelajari.
Kembali ke 'pondok
pizza' (terjemahan dari pizza hut).
Netizen ramai membully dan bahkan membuat meme 'fitsa hats'
untuk kata 'pizza hut'. Apa yang ditulis oleh polisi di BAP sama dengan bunyi
yang diucapkan oleh si pelapor, tetapi berbeda dengan tulisan nama yang
sebenarnya. Di dalam teori bahasa masyarakat (terjemahan untuk
sosiolinguistik), bahasa cenderung bervariasi baik secara kelompok bangsa,
etnik, bahkan individu. Bagi mazhab variasionis (oposan golongan uniformis)
kecenderungan bentuk bahasa yang berbeda ini dilihat sebagai bianglala, bukan
malapetaka dari bahasa itu sendiri. Namun, apa yang kita lihat beberapa hari yg
lalu, kata 'fitsa hats' seolah malapetaka buat mereka yg tak suka perbedaan
dalam berbahasa (padahal mereka katanya mengaku sebagai kaum pluralis).
Sampai-sampai hal itu dijadikan meme, bullying, dan berita yang tak sungguh
penting. Lebih-lebih, pihak Pizza Hut pun tak tahu menahu dengan salahnya nama
perusahaan mereka yg tulis itu. Netizen saja yang lebay alay meresponnya.
Mengenai kata 'fitsa hats'. Ada
banyak kaidah dalam hal kita meminjam-tuliskan kosakata asing (kata yg bukan
milik kita). Salah satunya dengan cara adaptasi fonologis; sebuah bahasa akan
menyesuaikan bentuk cara melafalkannya, yang nantinya melahirkan adaptasi
morfologis; yaitu ortografi huruf yg ditulis sama dengan cara melafalkannya.
Orang Banjar Hulu, misalnya, untuk mengucapkan kata tertentu yg memiliki fonem
/e/ dibunyikan /i/; dan fonem /o/ dibunyikan /u/ seperti pada kata; 'bensin,
servis, dan pokemon' yang diucapkan dan ditulis menjadi 'binsin, sirpis, dan
pukimun'. Semua kata yang ditulis itu berdasarkan lafal cara mengucapkannya
dengan alat ucap orang Banjar hulu. Di sini, orang Banjar di luar subetnik itu
tak membully bunyi-bunyi asing tersebut karena itu adalah variasi bahasa
masyarakat yang diwakili dari salah satu sub-etnik Banjar (bahasa etnik yang
masuk 10 besar penutur terbanyak di negeri ini).
Di Jepang, kita ambil contoh lain,
(jelek-jelek gini saya juga pernah tinggal di Jepang); orang Jepang menyebut
'ice cream' dengan sebutan 'aisu karimu' lantaran bahasa Jepang tidak mengenal
konsonan kluster (huruf konsonan yang tersusun dobel hingga tripel). Adakah
netizen Inggris membully orang Jepang? Tidak, karena salah satu tujuan dari
bahasa Inggris adalah mendunia meskipun itu dengan model naturalisasi. Dan, yang
lebih fatal di Jepang adalah orang Jepang memanggil nama saya dengan sebutan
Iwang (bukan Iwan), karena setiap bunyi /n/ di akhir suku kata dalam bahasa
Jepang akan dibunyikan /ng/ (seperti nipon jadi nipong; nihon jadi nihong; san
jadi sang, dsb) meskipun tulisannya tak sama dengan bunyinya. Itulah adaptasi
fonologis jenis lain yang tanpa harus ditulis sama dengan cara melafalkannya.
Nah, untuk kata 'fitsa hats' adalah
sebuah fenomena bahasa masyarakat yg tidak lucu bagi saya, karena kata 'pizza
hut' (secara linguistik) telah mengalami adaptasi morfologis melalui
pelafalannya secara individu. Jangan-jangan setelah ini nanti, ada nama 'praid
cikens, layen er, mekdi' dan sebagainya. Bagi kaum variasionis, model bahasa
seperti ini sangat lumrah di guyub bahasa masyarakat. Dan ini bagi saya bisa
jadi duit, bukan jadi bahan tertawaan. ***
loading...